Parigi moutong, seruanrakyat.online- Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Tombi dan Buranga Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi Moutong (Primo) Sulawesi Tengah, diduga luput di mata hukum.
Padahal, hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam perjalanan dari pusat komando Kepolisian di Kabupaten Parimo untuk sampai ke sebuah realitas yang kontradiktif, di Desa Tombi dan Buranga Kecamatan Ampibabo, deru mesin alat berat memecah kesunyian hutan, menciptakan lubang-lubang raksasa di perut bumi yang terus menganga, melansir dari situs resmi gemasulawesi.com.
Empat tahun silam, di Desa Buranga terjadi peristiwa memiluhkan, tepatnya di tanggal 24 Februari 2021, dimana bencana longsor di lokasi PETI menyebabkan sedikitnya enam hingga delapan orang meninggal dunia dan puluhan lainnya tertimbun material tanah, di sana aktivitas tambang ilegal bukan lagi rahasia yang dibisikkan.
Melainkan sebuah pertunjukan terbuka yang seolah menantang wibawa hukum yang hanya berjarak puluhan kilometer dari tempat itu.
Secara administratif dan melalui pernyataan resmi, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah maupun Kepolisian Resor (Polres) Parigi Moutong telah berulang kali membentengi diri.
Mereka membantah adanya keterlibatan personel dalam praktik haram tersebut,
namun, di lapangan, fakta berbicara melalui bahasa yang berbeda.
Kedekatan geografis antara lokasi tambang yang mencolok dengan markas kepolisian menciptakan sebuah paradoks, bagaimana mungkin aktivitas yang membutuhkan alat berat, logistik besar, dan mobilisasi massa dalam skala masif bisa luput dari mata hukum selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun?
Ironi ini memicu spekulasi yang kian liar di tengah masyarakat, kebebasan para penambang ilegal di Tombi dan Buranga mengisyaratkan adanya “restu” yang tak tertulis.
Dugaan keterlibatan oknum kepolisian bukan lagi sekadar isapan jempol bagi warga yang setiap hari menyaksikan truk-truk melintas tanpa hambatan.
Ada semacam tembok pelindung tak kasat mata yang membuat para pelaku merasa kebal terhadap jeratan hukum.
Dalam narasi yang berkembang di warung-warung kopi hingga diskusi aktivis lingkungan, keterlibatan oknum ini dipandang sebagai akar masalah yang membuat penindakan hanya menjadi sekadar seremoni musiman tanpa efek jera.
Dampak dari “pembiaran” ini sangat nyata. Alam di Kecamatan Ampibabo mulai meronta; air sungai yang dahulunya jernih kini keruh, sementara risiko longsor menghantui setiap kali hujan turun.
Namun, selama pundi-pundi emas terus mengalir ke kantong-kantong tertentu, keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga seolah menjadi tumbal yang murah.
Penyangkalan resmi dari pihak berwenang seringkali dianggap sebagai retorika kosong jika tidak dibarengi dengan tindakan nyata untuk menyisir hingga ke akar-akar internal mereka sendiri.
Kondisi di Parigi Moutong kini menjadi cermin retak penegakan hukum di Sulawesi Tengah, jika aparat yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan kejahatan justru terindikasi menjadi bagian dari ekosistem kejahatan itu sendiri, maka keadilan hanyalah barang mewah yang sulit digapai.
Masyarakat kini menunggu, apakah hukum akan benar-benar tegak di atas bukit-bukit Tombi dan Buranga, ataukah deru mesin tambang ilegal akan terus menjadi musik pengiring bagi runtuhnya integritas di bawah bayang-bayang Hukum.












